Total Tayangan Halaman

Rabu, 06 Juli 2011

Kita Bukan ‘Bangsa Budak’!!!

‘’Indonesia adalah negeri budak. Budak diantara bangsa
Dan budak bagi bangsa lain’’(Pramoedya Ananta Toer)
Tampaknya bukan tanpa sebab Pram mengungkapkan hal tersebut. Kita adalah negeri yang konon merupakan pengekspor tenaga kasar terbesar di dunia. Dan menurutku itu terjadi karena kita membiasakan untuk menjadi bangsa dengan pekerjaan tenaga kasar. Dalam era sekarang, aku rasa pemerintah(yang merupakan bangsa kita sendiri) mempunyai urusan penting dalam hal ini. Merekalah yang seharusnya mengatur semuanya, setidaknya agar Negara kita tidak lagi dianggap Negara rendahan oleh bangsa lain.
Di pengantar buku karangan Pram yang kubaca, ada sebuah pernyataan dari pengantar yang membuat hati ini miris. Begini kutipannya :
‘’Dari pemeriksaan yang cukup detail dan bercorak tuturan perjalalan ini, membiak sebuah ingatan yang satire, bahwa kita adalah bangsa yang kaya tapi lemah. Bangsa yang sejak lama bermental diperintah oleh bangsa lain. bangsa yang penguasanya lebih asyik memupuk-mupuk ambisi berkuasa daripada mengerai kesejahteraan bagi warganya’’
Mungkin bagi bangsa lain seperti Malaysia, Arab, dan lainnya, kita tidak ubahnya budak yang dapat dikerjakan sebagai apapun. Bangsa-bangsa itu seperti yang diberitakan akhir-akhir ini, amat tidak menghargai bangsa kita. Hal tersebut tampak dari perlakuan kasar terhadap tenaga kerja kita. Pendeknya, harga diri kita sebagai bangsa yang besar dan merdeka sendiri 66 tahun yang lalu mulai diremehkan oleh bangsa lain. Memang kita bukan menjadi budak sebenarnya seperti berabad-abad lalu yang dipekerjakan seenaknya dan tanpa jaminan untuk hidup merdeka, namun jika dilihat dari jiwa jaman pada masa sekarang, pekerjaan yang paling besar kita ekspor ke luar negeri bisa dikatakan adalah tenaga kerja kasar yang amat tidak dihargai.
Bagaimana tidak, hampir seluruh TKI/TKW yang dikirim untuk bekerja di negara lain mayoritas adalah pembantu rumah tangga dengan tidak adanya ketrampilan khusus. Tentu itu menjadikan bangsa kita memiliki nilai tawar yang rendah di bangsa lain hingga bisa berlaku seenaknya. Parahnya, pemerintah tampak acuh dengan hal itu. Mereka terlihat hanya memikirkan devisa yang banyak dari pengiriman tenaga kerja yang banyak pula. Saya bisa contohkan kasus Ruyati yang dihukum pancung di Arab Saudi. Selain itu, banyak kabar yang memberitakan bangsa kita disetrika, diguntung bibirnya, diperkosa, tidak digaji, hingga siksaan-siksaan lain. Dan yang menyakitkan, hampir semua berita miring itu terjadi di Arab Saudi yang notabene adalah Negara pusat agama Islam di dunia. Tentu nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan Islam sebagai agama sangat bertolak belakang dengan perlakuan orang disana terhadap warga kita.
Aku rajin membeli Koran akhir-akhir ini, dan hampir disetiap Koran yang aku baca selalu ada yang memberitakan tentang nasib TKI yang nelangsa. Hampir semuanya berasal dari Arab Saudi. Negara itu seolah-olah amat merendahkan bangsa kita dengan tidak menindak warga negaranya yang kasar terhadap tenaga kerja Indonesia. Selebihnya kukira itu karena mereka menganggap bahwa kita memang pantas direndahkan dan pantas tidak mendapat keadilan. Seharusnya sebagai bangsa yang besar, kita harus mengubah stigma ini.
Memang tidak semua warga Negara kita bekerja sebagai pembantu atau kuli di Negara lain. ada juga tenaga medis, tenaga guru, tenaga keamanan. Kita ambil contoh saja Pak Habibie yang amat tersohor sebagai tenaga kerja Indonesia berkualitas nomor 1 itu. Sayangnya, itu hanya segelintir dari bangsa kita, selebihnya, tetap menjadi tenaga kasar karena tidak mempunyai ketrampilan. Meski begitu, tidak semua Negara juga yang memperlakukan tenaga kasar kita dengan buruk, Hongkong contohnya. Dari beberapa buku yang ditulis sendiri oleh TKI, mereka mengungkapkan bahwa bekerja di Hongkong cukup terjamin dari Negara lain. tenaga kerja disana pun memiliki kebebasan seperti berorganisasi dan mengunjungi perpustakaan kota. Selain itu, taman Victoria di juga mereka jadikan basis utama untuk berkumpul.
Disini aku jelaskan bahwa TKI/TKW kita bukan merupakan seorang budak bagi bangsa lain. kita sebagai bangsa Indonesia tentu tidak mau menganggapnya begitu. Namun apa yang dikatakan bangsa lain seperti Malaysia yang bangsanya banyak yang sensitive terhadap bangsa kita?. Bukankah hanya sebuah kejelekan untuk bangsa kita yang mereka katakan?. Dan untuk merubah semua itu, butuh perjuangan bersama. Kita tidak lebih rendah atau bodoh dari Negara lain, bahkan Jepang yang tersohor sebagai bangsa Asia tercerdas itu. Yang kita butuhkan adalah membangun tatanan baru sebagai bangsa yang bermartabat atas usaha bersama, baik dari berbagai etnis, tingkatan masyarakat, dari akademisi hingga rakyat jelata, dari pemerintah hingga pembantu rumah tangga. Kita perlu kerjasama dan saling mendorong usaha masing-masing. Kita juga tidak perlu silau dengan keberhasilan bangsa lain, karena sebenarnya kita juga bisa sebagai sesama Homo sapiens yang tidak lebih rendah dari yang lain. dan sebagaimana yang aku tulis diatas bahwa pemerintah sangat berperan penting dalam membangun tatanan baru ini. Etos kerja harus berubah kea rah yang lebih baik.
Aku bisa mengatakan kita memiliki potensi atas dasar beberapa tokoh TKI di Taiwan, Korea, Hongkong atau lainnya yang berhasil mengembangkan dirinya. Ada yang menjadi penulis, ada yang pandai bahasa, hingga ada yang mencapai sarjana. Pengembangan diri sangatlah penting disini. Pekerjaan bukan hanya sepintas dokter, polisi, tentara atau guru sebagaimana yang diajarkan di TK atau SD dulu. Mengembangkan potensi bangsa kita hingga menjadi kreatif dengan potensi itu lebih baik daripada hanya sekedar mengincar pekerjaan diatas. Sudah saatnya bangsa lain tidak menganggap bangsa kita sebagai bangsa budak seperti yang dikatakan Pram. Sudah saatnya kita bangun dan menjadi bangsa yang besar dalam arti yang sesungguhnya.

0 komentar:

Posting Komentar