Total Tayangan Halaman

Rabu, 29 Juni 2011

Lokalisasi Dolly, Tidak Mungkin Asal Ditutup



Saat ini lokalisasi Dolly yang berlokasi di daerah Jarak, Pasar Kembang, Kota Surabaya, Jawa Timur tercatat sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Terdapat setidaknya 1050 penjaja seks yang terdapat disana dan tersebar di ratusan wisma. Tentu bagi sebagaiaan besar masyarakat, terutama masyarakat Jawa Timur sangat malu dengan rekor ini. Memang selama ini Jawa Timur dikenal sebagai provinsi dengan jumlah pondok pesantren terbesar di Indonesia. Dari 14.000 pesantren di Indonesia, 60% berada di wilayah Jawa Timur. Ketua PWNU (Pengurus Wilayah Nahdhotul Ulama) Jawa Timur, KH Mutawakkil, bahkan mengatakan hal ini sangat ironis. Di satu sisi Jawa Timur menjadi wilayah dengan pondok pesantren terbesar, namun juga lokalisasi terbesar, bahkan se-Asia Tenggara. Banyak pula tanggapan dari masyarakat luas yang menyarankan bahwa lokalisasi Dolly hendaklah ditutup karena membawa pengaruh buruk di masyarakat.

Dampak Penutupan Lokalisasi Dolly

Meski didasari data diatas, tentu wilayah lokalisasi Dolly tidak bisa ditutup begitu saja. Penutupan secara sepihak hanya akan menimbulkan masalah baru. Pemerintah juga perlu berkaca pada penutupan lokalisasi Saritem di Jawa Barat. Meski telah resmi ditutup, ternyata praktik prostitusi di Saritem masih banyak berjalan dengan illegal. Selain itu, penutupan juga akan berdampak besar pada aspek sosial dan ekonomi. Bayangkan saja jika lokalisasi benar-benar ditutup, tidak hanya PSK yang akan kehilangan pekerjaan, tapi juga tukang parkir, penjaja kondom, pedagang rokok, tukang becak, penjual pulsa, dan lain sebagainya. Mereka yang kehilangan pekerjaan kebanyakan berasal dari golongan miskin, dampaknya tentu saja bisa terjerumus kepada kriminalitas. Selain itu, PSK tadi bisa saja menjajakan jasanya di berbagai tempat sehingga menambah masalah baru. Patut dicatatat juga, jika lokalisasi ditutup, pemasukan pemerintah yang berasal dari retribusi akan hilang. Berdasarkan tulisan di situs Zicoe.com, untuk membuka wisma baru saja pengelola wisma harus membayar setidaknya dua juta rupiah untuk izin ke RT/RW setempat. Itu tidak termasuk tarikan setiap tahun, atau juga tarikan dari pihak keamanan. Belum lagi putaran ekonomi yang mencapai milyaran rupiah akan hilang seiring dengan ditutupnya lokalisasi ini. Penyebaran HIV/AIDS juga akan semakin merajalela jika sampai lokalisasi ditiadakan. Hal ini disebabkan pemerintah akan kesulitan mengontrol kegiatan prostitusi yang bisa saja dilakukan secara illegal.

Ketika tersiar kabar Lokalisasi Dolly akan ditutup, terdapat penolakan dari berbagai pihak. Tentu dari mereka yang sangat menggantungkan hidupnya dari bisnis prostitusi ini. Okezone. Com (10 November 2010) memberitakan bahwa penolakan langsung ditegaskan oleh Paguyuban Masyrakat Pekerja Lokalisasi (PMPL).SA Saputro selaku Kordinator PMPL sendiri mengatakan bahwa pemeritah tidak pernah turun langsung dan melihat betapa tergantungnya kehidupan masyarakat sekitar akan bisnis ini. Bahkan berdasarkan sumber yang sama, Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang dalam hal ini mempunyai wewenang penuh menyatakan menolak menutup lokalisasi ini. Bagaimanapun penutupan tanpa ada solusi hanya akan menghilangkan rasa keadilan bagi masyarakat. Apalagi adanya prostitusi juga disebabkan karena kemiskinan, bukan dari niat pelakunya sendiri.




Solusi

Dari berbagai masalah tentang bisnis prostitusi Dolly, setidaknya penulis dapat memberikan berbagai usulan solusi sebagai berikut :

  1. Penutupan secara sepihak tidak bisa dibenarkan. Sebaiknya, pemerintah mencarikan cara-cara untuk memberdayakan masyarakat, baik PSK, pedagang, dan lainnya, yang sudak terlanjur terjun ke bisnis ini. Caranya dengan memberikan pelatihan ketrampilan tertentu sehingga mereka bisa terjun ke dunia lain dengan bekal ketrampilan tersebut. Selama ini memang sudah sering orang mengusulkan hal ini, namun tanggapan konkret dari pemerintah sendiri masih kurang. Pemerintah juga hendaknya menggali potensi lapangan kerja baru bagi pegawai Dolly yang ingin berpindah profesi.
  2. Dilakukannya berbagai aturan yang membatasi gerak tempat prostitusi. Hal ini bisa berkaitan dengan dinaikannya pajak retribusi terhadap pemerintah, pembatasan jam kerja, atau juga pembatasan pemasukan PSK baru. Untuk 2 hal yang terakhir ini, sudah memang sudah mulai dipraktekan oleh pemerintah, namun pada prakteknya, masih saja banyak wisma nakal yang melanggar aturan. Ini diketahui sendiri pada saat penulis melakukan analisis sosial LPM SIAR UM bulan Juni lalu. Aturan pengharusan penggunaan kondom juga harus dipertegas. Hal ini damaksudkan untuk menekan semakin besarnya penghuni yang terjangkit HIV/AIDS. Berdasarkan laporan dari Komisi Penanggulangan Aids yang ditulis di Jurnal Nasional, jumlah penderita HIV/AIDS di lokalisasi Dolly sebanyak 35%.




Kesimpulan

Lokalisasi Dolly yang merupakan Lokalisasi terbesar di Asia ternggara tidak mungkin ditutup begitu saja. Hal ini malah akan menambah masalah baru bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu solusi yang tepat untuk menangani masalah lokalisasi Dolly. Harapannya memang suatu saat nanti lokalisasi ini benar-benar ditutup, namun penghuninya juga mendapatkan pekerjaan pengganti yang selayanknya. Masalah ini juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah selaku pemilik wewenang, namun juga tanggung jawab kita semua.







0 komentar:

Posting Komentar