Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Februari 2011

PASAR DI JAWA (MASA MATARAM)


Pasar dalam Zaman Mataram mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat. Pasar tidak hanya mempengaruhi dalam bidang ekonomi seperti yang lazim kita ketahui, tapi juga telah merasuk dan mempengaruhi bidang sosial masyarakat saat itu. Pasar merupakan kesatuan dari berbagai komponen hingga kesatuannya dapat diwujudkan dalam sati manifestasi yang mempengaruhi keseluruhan darinya. Misalanya dapat dikatakan dalam pasar terdapat hal penting seperti komoditi, transportasi, penentuan lokasi, bentuk fisik, transaksi dan sebagainya. Mereka menjadi satu kesatuan dalam pasar.
Seperti pada hukum ekonomi modern bahwa pasar haruslah ditempatkan pada tempat yang strategis, pasar di Jawa pada zaman Mataram juga menganut sistem seperti ini. Pada saat masa kerajaan dahulu, tempat yang paling strategis adalah tepi pantai. Namun karena ada beberapa daerah yang tidak memiliki tepi pantai, mereka juga biasanya menggunakan tepi sungai sebagai tempat dibangunnya pasar. Pada kenyataannya tidak hanya jalur sungai yang digunakan sebagai tempat berdirinya pasar. Jalur darat pun mulai populer di Jawa pada masa itu. Hal ini tak lepas dari pembabatan hutan yang digunakan sebagai jalan besar. Disini pasar dibangun di tepi jalan besar, tentu maksud dari sebuanya adalah memudahkan pembeli dalam melakukan transaksi baik di air maupun di darat.
Jika dilihat dari bentuk fisik, ada setidaknya dua bentuk pasar . Salah satu bentuk terdapat di lapangan terbuka dan ada pula pasar yang semi permanen atau sudah permanen. Pasar di lapangan terbuka bisa disebut pasar desa yang selalu ramai akan hiruk pikik warganya. Terkadang pada hari-hari tertentu pasar ini juga digunakan sebagai upacara-upacara seperti penetapan desa sima atau desa perdikan. Salah sati bentuk yang lainnya adalah pasar semi permanen dan permanen. Bangunan pasar ini sama seperti namanya yaitu bangunan pasar yang tetap. Tidak berpindah-pindah. Kelebihannya adalah pasar ini disebut sebagai pasar kota yang digunakan oleh kaum elit bangsawan dan kerajaan. Tampak disini seperti telah ada pemisahan secara tidak langsung oleh golongan elit yang membedakan jenis pasar yang digunakan.
Komoditi yang diperdagangkan dalam pasar beraneka ragam macamnya. Terdapat hasil bumu, hewan ternak, telur, ikan, dan hasul industri rumah tangga. Seperti pada hukum ekonomi modern yang membedakan kebutuhan kita akan barang, pada zaman Mataram juga telah ada pengelompokan yaitu jenis komoditi primer dan sekunder. Bidang primer tentu saja yang penting bagi masyarakat yang wajib pemenuhannya. Komiditi ini bisa meliputi antara lain seperti produksi pertanian, peternakan, dan perikanan. Sedangkan produksi sekunder adalah jika pemenuhannya tidak terpenuhi masih tidak apa-apa. Jenis komoditinya misalnya hasil-hasil kerajinan. Dari hal diatas maka dapat kita simpulkan telah ada usaha pada masa itu dalam mengubah sesuatu yang tidak ekonomis menjadi ekonomis. Terlihat misalnya batang pohon bisa dijadikan ukiran-ukiran indah setelah diproses.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa ada pembangunan jalan hingga nantinya tempat dari ujung jalan yang strategus dibuat pasar. Namun hal ini juga tidak hanya berlaku bagi penentuan lokasi pasar. Jalan juga digunaka sebagai transportasi untuk memobilisasi barang dari tempat satu ke tempat lainnya. Disini tentu diperlukan adanya pengamanan. Hal ini disebabkan banyaknya kawanan perampok yang berkeliaran pada zaman itu. Bahkan diterangkan dalam Sejarah Nasional Indonesia bahwa Kerajaan Mataram membuat satuan khusus setingkat polisi pada masa sekarang guna menjaga keamanan wilayah kerajaannya.
Alat angkut yang digunakan masih sangat tradisional pada masa itu. Yang penting bisa mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Akhirnya barang bawaan juga hanya sedikit bisa dibawa. Masalah kecepatan pengangkutan juga menjadi masalah tersendiri. Hal ini berkaitan dengan komoditas pertanian yang cepat busuk seperti lombok, tomat, dan lainnya. Alat yang digunakan bisa seperti pedati, keranjang, atau juga wakul yang bisa digendong sendiri. Tentu pada masa ini sangat tidak efisien alat angkut seperti ini. Namun jika kita membandingkannya dengan masa sekarang, masih juga ada alat angkut tadi yang digunakan seperti pedati, walau alat semacam ini sudah teramat jarang dan digantikan fungsinya dengan mobil. Sedangkan alat seperti keranjang yang ditempatkan di dua sisi sepeda masih sering kita temukan sampai sekarang.  
Cara transaksi pada masa itu adalah barter, namun ada juga yang telah mengenal alat tukar. Jika barter, nilainya bisa dikira-kira dengan apa yang kan ditukar, sedangkan jika menggunkan alat tukar akan sangat sulit menentukan nilainya. Oleh karena itu masa itu ditengarai menggunakan mata uang pisis sebagai alat tukar. Hal ini bisa dimengerti karena jika kita menggunakan alat tukar mata uang emas maka akan sulit. Tidak mungkin jika keperluan sehari-hari dihargai dengan emas.
Dari data prasasti dapat disimpulkan jika pada masa itu telah dikenal suatu konsep pemukiman yang berhubungan dengan adanya pasar. Pada hari-hari tertentu, pasar menjadi tempat transaksi utama. Sampai sekarang, hal ini masih terjadi. Semisal adanya pasar wage yang hanya menjuak kambing atau pasar legi yang hanya menjual sapi saja. Penamaan pasar tadi disebabkan hanya pada hari itu komoditas tersebut ramai diperjualbelikan. Ada juga konsep lain seperti yang kita kenal pasaran yang ada dua kali dalam sepasar.
Faktor produksi tidak bisa dilepaskan dengan faktor distribusi. Oleh karena itu tentu sangat diperlukan adanya transportasi yang bagus dalam menunjang distribusi. Jalur tranportasi tadi juga harus disesuaikan dengan lokasi pasar yang ada. Lokasi yang bagus tentu saja akan memudahkan banyak orang mencapainya dan pada akhirnya nanti jumlah transaksi akan banyak terjadi. Jumlah transaksi yang banyak akan menyebabkan banyaknya produksi seperti hukum penawaran dan permintaan dalam ekonomi. Hal seperti diatas lazim disebut dengan ritasi pasar.
Sebagai tempat keramaiaan dan tempat bertemunya masyarakat maka tentu tidak hanya aktifitas ekonomi yang terjadi dalam suatu pasar tersebut. Ada aktifitas sosial yang juga terjadi disana seperti tempat bertukar informasi, tempat komunikasi serta tempat hiburan. Disini telah mencitrakan bahwa pasar sangat erat hubungannya dengan masyarakat karena tidak hanya digunakan sebagai tempat niaga tapi juga aktifitas sosial masyarakat.
Adanya aktifitas menjajakan hiburan di pasar dapat diketahui dengan adanya para penyanyi, penari, pelawak dan sebagainya. Pada masa itu, hal seperti ini sedah menjadi hiburan yang sangat spesial bagi masyarakat kita. Namun sayangnya pada zaman sekarang hal seperti ini sudah terkikis dengan adanya hiburan modern. Mungkin hanya tinggal lawak dan tukang sulap yang masih ada, dan jika ada yang menghibur dengan nada maka dapat dikatakan bahwa mereka adalah pengamen.
Dalam meneliti kajian tentang pasar ini banyak dilakukan dengan studi etnoarkeologi. Artinya adalah membandingkan apa yang ada pada masa sekarang dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Hal ini dikarenakan pada dasarnya pasar tidak jauh fungsinya dengan masa lalu, selain itu pasar sekarang adalah kelanjutan dari perkembangan pasar yang ada pada masa lampau. Pasar sampai sekarang juga biasanya digunakan sebagai tempat bernadar.
Dapat disimpulkan bahwa pasar pada masa itu telah mendukung wilayah Jawa yang mayoritas hidup dengan keadaan agraris. Telah ada keteraturan dan keamanan yang ada hingga pasar itu disebut layak pakai sebagai suatu pasar. Pasar juga tidak hanya digunakan sebagai tempat aktifitas politik tapi juga sebgai aktifitas sosial. Pasar pada zaman Mataran juga tidak jauh berbeda dengan pasar yang ada pada masa sekarang ini.

Pinalti Firman jangan disalahkan


Pinalti Firman jangan disalahkan[1]
Kegarangan permainan timnas sepanjang gelaran AFF Cup seolah sirna di laga final. Pada laga yang sangat dinantikan oleh hampir semua rakyat Indonesia ini timnas tampil loyo hingga kalah agregrat 4-2 oleh timnas Malaysia. Pada laga pertama yang dilaksanakan di Stadion bukit jalil, Kuala Lumpur, indonesia dipaksa takluk oleh tim Harimau Malaya dengan skor yang sangat mencolok, 3-0! Dengan kekalahan itu, tidak ada alasan lain selain menang 4-0 di GBK jika ingin menjadi juara baru di AFF Cup.
Dengan dukungan penonton yang luar biasa besar dan bahkan beberapa ahli mengatakan kemenangan timnas sebagai pemersatu bangsa, toh timnas kita tetap tidak dapat meraih gelar juara setelah hanya menang dengan skor 2-1 di GBK. Disaksikan hampir 90 ribuan penonton di GBK dan puluhan, bahkan ratusan juta di layar kaca, timnas tidak bisa memaksimalkan berbagai peluang emas di depan gawang Fahmi, kiper Malaysia. Bahkan timnas sempat tertinggal terlebih dahulu setelah Saffe Salli membobol gawang Indonesia dengan memanfaatkan suatu serangan balik. Dengan kedudukan tertinggal, timnas tampil kesetanan hingga bisa membalikan kedudukan menjadi 2-1 melalui gol Nasuha dan Ridwan. Kita tentu harus mengapresiasi perjuangan timnas meski mereka menang tanpa gelar juara di tangan karena kalah selisih gol.
Bagi kebanyakan gila bola negeri ini, ada satu momen di final kedua AFF yang sangat menyesakan. Momen itu tidak lain adalah gagalnya pinalti yang dilakukan oleh Firman Utina, kapten sekaligus pengatur serangan timnas. Pinalti yang dia arahkan tepat di kiri penjaga gawang  Malaysia berhasil dimentahkan oleh kiper tim Harimau Malaya. Banyak yang berandai-andai, jika saja Firman berhasil melakukan pinalti itu pasti keadaannya akan lain atau dapat dikatakan Indonesia masih bisa juara. Memang secara psikis, pinalti itu sedikit banyak mempengaruhi mental bertanding timnas, apalagi Firman adalah kapten tim. Setelah pinalti itu Timnas terlihat frustasi dengan pertahanan Malaysia yang begitu kokoh. Hal ini bisa diketahui dengan pola serangan timnas yang monoton setelah Firman gagal mengeksekusi pinalti. Serangan bola lambung dengan mengandalkan insting Gonzales sebagai striker utama dapat dibaca dengan baik oleh pertahanan Malaysia. Tercatat Timnas baru menunjukan permainan cantik justru saat laga akan berakhir hingga bisa menang walau gagal juara.
Sekarang pertanyaannya, apakah Firman pantas disalahkan atas kegagalan timnas dalam meraih gelar AFF Cup?. Dalam hal ini penulis mempunyai pandangan tersendiri bahwa Firman sepenuhnya tidak bisa disalahkan. Di dunia bola, hal ini(kegagalan pemain mengeksekusi pinalti) sudah menjadi hal yang amat biasa. Bahkan penulis teringat akan bonus panduan piala dunia 2002 yang diberikan majalah anak BOBO dimana disebutkan bahwa kemungkinan gol bagi penendang pinalti adalah 99’99% termasuk hal yang salah. Tendangan pinalti seharusnya hanya memperoleh prosentase 80% dalam keberhasilannya menjadi gol. Kekalahan timnas disebabkan banyak faktor seperti pertahanan yang lengah, kelelahan, hingga mental bertanding yang belum sepenuhnya kuat. Jadi terlalu naif jika kita menyalahkan Firman semata.
Di dunia internasonal yang bola nya sudah maju sekalipun,kegagalan pinalti sering terjadi. Hal ini juga terjadi bagi pemain penting dalam pertandingan yang amat penting pula. Roberti Baggio, David Beckham, John Terry, Shevchenko, bahkan hingga Cristiano Ronaldo pernah gagal mengeksekusi pinalti. Semua kejadian itu terjadi dalam gelaran even bola akbar sekelas Liga Champion hingga Piala dunia. Baggio contohnya, dia bisa disebut from hero to zero bagi tim Italia. Bagaimana tidak, Baggio adalah aktor utama yang melambungkan Italia hingga berhasil mencapai  final ajang bola paling akbar yaitu piala dunia. Namun dalam pertaruhan hidup mati di ajang pinalti melawan Brasil, tidak berhasilnya Baggio yang ditunjuk sebagai salah satu eksekutor turut serta dalam kegagalan Italia menjadi Juara dunia. Melihat hal ini, saya melihat bahwa pinalti firman bukanlah suatu penyebab utama kegagalan timnas dalam meraih juara AFF Cup.
Jika kita melihat kegagalan Timnas dalam merengkuh gelar Juara, PSSI harusnya turut serta dijadikan sebagai faktor utama. Bagamana tidak, pengayom Organisasi sepakbola se-Indonesia ini memiliki banyak catatan buruk sebelum gelaran AFF Cup. Mulai dari kompetisi yang morat-marit, kinerja wasit yang buruk, ketua yang korup, hingga ide-ide gila yang bergulir. Pada saat gelaran AFF ini terlihat ada indikasi politisasi dari PSSI dan kericuhan dalam pembalian tiket. Dilihat dari hal ini saja, kinerja PSSI patut dikatakan buruk. Kita telah mengetahui bahwa Nurdin(ketum PSSI) mencitrakan dirinya dengan memasang banyak poster yang berisi dukungan terhadap dirinya sendiri. Saat akan berangkat ke malaysia pun pemain yang seharusnya hanya berkonstrasi terhadap timnas malah diajak ke Ical yang notabene adalah kawan politik Nurdin. Bahkan di Bukit Jalil pun terpasang spanduk yang menggambarkan seolah keberhasilan Timnas atas peran tiga orang. Di loket penjualan tiket pun ricuhnya bukan main. Parahnya hal ini berdampak pada jebolnya pintu GBK hingga merusak lapangan. Indonesia pun terancam gagal menyelenggarakan final walau akhirnya diperbolehkan setelah lapangan diperbaiki kembali. Di lain pihak, Nurdin malah menyalahkan kericuhan penonton yang berdampak pada rusaknya konsentarasi pemain hingga kalah oleh Malaysia. Hal ini sungguh lucu karena suporter telah mengorbankan apa saja demi timnas.
Lebih jauh, kita yang sebagai gila bola tidak boleh hanya memandang kegagalan timnas oleh pinalti Firman. Tampaknya memang kompetisi bola kita yang perlu dibenahi. Kita tidak bisa menyalahkan individu, tapi hendaknya merubah sistem yang ada. Kesuksesan Spanyol dalam merengkuh gelar Piala Dunia juga tidak lepas dari kompetisinya yang kompetitif. Malaysia pun berhasil menyelenggarakan kompetisi yang baik hingga meraih gelar juara. Saya melihat dalam hal ini sudah selayaknya ada sistem yang mengatur hingga kompetisi  bola di Indonesia berkelas dunia hingga mencetak bibit hebat yang nantinya bisa memperkuat Timnas. Ingat, dibalik Tim yang hebat, ada kompetisi yang hebat pula.



[1] Referensi lebih banyak mengenai bobroknya sistem hingga Timnas gagal juara banyak dijumpai di media cetak ataupun elektronik. Dalam hal ini penulis memakai Jawa pos sebagai referensi utama