Pinalti Firman jangan disalahkan[1]
Kegarangan permainan timnas sepanjang gelaran AFF Cup seolah sirna di laga final. Pada laga yang sangat dinantikan oleh hampir semua rakyat Indonesia ini timnas tampil loyo hingga kalah agregrat 4-2 oleh timnas Malaysia. Pada laga pertama yang dilaksanakan di Stadion bukit jalil, Kuala Lumpur, indonesia dipaksa takluk oleh tim Harimau Malaya dengan skor yang sangat mencolok, 3-0! Dengan kekalahan itu, tidak ada alasan lain selain menang 4-0 di GBK jika ingin menjadi juara baru di AFF Cup.
Dengan dukungan penonton yang luar biasa besar dan bahkan beberapa ahli mengatakan kemenangan timnas sebagai pemersatu bangsa, toh timnas kita tetap tidak dapat meraih gelar juara setelah hanya menang dengan skor 2-1 di GBK. Disaksikan hampir 90 ribuan penonton di GBK dan puluhan, bahkan ratusan juta di layar kaca, timnas tidak bisa memaksimalkan berbagai peluang emas di depan gawang Fahmi, kiper Malaysia. Bahkan timnas sempat tertinggal terlebih dahulu setelah Saffe Salli membobol gawang Indonesia dengan memanfaatkan suatu serangan balik. Dengan kedudukan tertinggal, timnas tampil kesetanan hingga bisa membalikan kedudukan menjadi 2-1 melalui gol Nasuha dan Ridwan. Kita tentu harus mengapresiasi perjuangan timnas meski mereka menang tanpa gelar juara di tangan karena kalah selisih gol.
Bagi kebanyakan gila bola negeri ini, ada satu momen di final kedua AFF yang sangat menyesakan. Momen itu tidak lain adalah gagalnya pinalti yang dilakukan oleh Firman Utina, kapten sekaligus pengatur serangan timnas. Pinalti yang dia arahkan tepat di kiri penjaga gawang Malaysia berhasil dimentahkan oleh kiper tim Harimau Malaya. Banyak yang berandai-andai, jika saja Firman berhasil melakukan pinalti itu pasti keadaannya akan lain atau dapat dikatakan Indonesia masih bisa juara. Memang secara psikis, pinalti itu sedikit banyak mempengaruhi mental bertanding timnas, apalagi Firman adalah kapten tim. Setelah pinalti itu Timnas terlihat frustasi dengan pertahanan Malaysia yang begitu kokoh. Hal ini bisa diketahui dengan pola serangan timnas yang monoton setelah Firman gagal mengeksekusi pinalti. Serangan bola lambung dengan mengandalkan insting Gonzales sebagai striker utama dapat dibaca dengan baik oleh pertahanan Malaysia. Tercatat Timnas baru menunjukan permainan cantik justru saat laga akan berakhir hingga bisa menang walau gagal juara.
Sekarang pertanyaannya, apakah Firman pantas disalahkan atas kegagalan timnas dalam meraih gelar AFF Cup?. Dalam hal ini penulis mempunyai pandangan tersendiri bahwa Firman sepenuhnya tidak bisa disalahkan. Di dunia bola, hal ini(kegagalan pemain mengeksekusi pinalti) sudah menjadi hal yang amat biasa. Bahkan penulis teringat akan bonus panduan piala dunia 2002 yang diberikan majalah anak BOBO dimana disebutkan bahwa kemungkinan gol bagi penendang pinalti adalah 99’99% termasuk hal yang salah. Tendangan pinalti seharusnya hanya memperoleh prosentase 80% dalam keberhasilannya menjadi gol. Kekalahan timnas disebabkan banyak faktor seperti pertahanan yang lengah, kelelahan, hingga mental bertanding yang belum sepenuhnya kuat. Jadi terlalu naif jika kita menyalahkan Firman semata.
Di dunia internasonal yang bola nya sudah maju sekalipun,kegagalan pinalti sering terjadi. Hal ini juga terjadi bagi pemain penting dalam pertandingan yang amat penting pula. Roberti Baggio, David Beckham, John Terry, Shevchenko, bahkan hingga Cristiano Ronaldo pernah gagal mengeksekusi pinalti. Semua kejadian itu terjadi dalam gelaran even bola akbar sekelas Liga Champion hingga Piala dunia. Baggio contohnya, dia bisa disebut from hero to zero bagi tim Italia. Bagaimana tidak, Baggio adalah aktor utama yang melambungkan Italia hingga berhasil mencapai final ajang bola paling akbar yaitu piala dunia. Namun dalam pertaruhan hidup mati di ajang pinalti melawan Brasil, tidak berhasilnya Baggio yang ditunjuk sebagai salah satu eksekutor turut serta dalam kegagalan Italia menjadi Juara dunia. Melihat hal ini, saya melihat bahwa pinalti firman bukanlah suatu penyebab utama kegagalan timnas dalam meraih juara AFF Cup.
Jika kita melihat kegagalan Timnas dalam merengkuh gelar Juara, PSSI harusnya turut serta dijadikan sebagai faktor utama. Bagamana tidak, pengayom Organisasi sepakbola se-Indonesia ini memiliki banyak catatan buruk sebelum gelaran AFF Cup. Mulai dari kompetisi yang morat-marit, kinerja wasit yang buruk, ketua yang korup, hingga ide-ide gila yang bergulir. Pada saat gelaran AFF ini terlihat ada indikasi politisasi dari PSSI dan kericuhan dalam pembalian tiket. Dilihat dari hal ini saja, kinerja PSSI patut dikatakan buruk. Kita telah mengetahui bahwa Nurdin(ketum PSSI) mencitrakan dirinya dengan memasang banyak poster yang berisi dukungan terhadap dirinya sendiri. Saat akan berangkat ke malaysia pun pemain yang seharusnya hanya berkonstrasi terhadap timnas malah diajak ke Ical yang notabene adalah kawan politik Nurdin. Bahkan di Bukit Jalil pun terpasang spanduk yang menggambarkan seolah keberhasilan Timnas atas peran tiga orang. Di loket penjualan tiket pun ricuhnya bukan main. Parahnya hal ini berdampak pada jebolnya pintu GBK hingga merusak lapangan. Indonesia pun terancam gagal menyelenggarakan final walau akhirnya diperbolehkan setelah lapangan diperbaiki kembali. Di lain pihak, Nurdin malah menyalahkan kericuhan penonton yang berdampak pada rusaknya konsentarasi pemain hingga kalah oleh Malaysia. Hal ini sungguh lucu karena suporter telah mengorbankan apa saja demi timnas.
Lebih jauh, kita yang sebagai gila bola tidak boleh hanya memandang kegagalan timnas oleh pinalti Firman. Tampaknya memang kompetisi bola kita yang perlu dibenahi. Kita tidak bisa menyalahkan individu, tapi hendaknya merubah sistem yang ada. Kesuksesan Spanyol dalam merengkuh gelar Piala Dunia juga tidak lepas dari kompetisinya yang kompetitif. Malaysia pun berhasil menyelenggarakan kompetisi yang baik hingga meraih gelar juara. Saya melihat dalam hal ini sudah selayaknya ada sistem yang mengatur hingga kompetisi bola di Indonesia berkelas dunia hingga mencetak bibit hebat yang nantinya bisa memperkuat Timnas. Ingat, dibalik Tim yang hebat, ada kompetisi yang hebat pula.
[1] Referensi lebih banyak mengenai bobroknya sistem hingga Timnas gagal juara banyak dijumpai di media cetak ataupun elektronik. Dalam hal ini penulis memakai Jawa pos sebagai referensi utama
0 komentar:
Posting Komentar